bisnisku

Selasa, 15 Juni 2010

Part 1


Part 1


Sang surya baru mulai condong ke ufuk barat. Empat anak kecil yang masih terbalut seragam SD tampak bersepeda melintasi jembatan yang masih dalam tahap pembangunan itu. Keempatnya lalu berhenti di tengah jembatan dan menyandarkan sepeda mereka ke pagar jembatan, lalu mengeluarkan makanan dan minuman yang mereka bawa, dan duduk sambil menikmati pemandangan sore di depan mereka. Mereka bersenda gurau sambil menikmati bekal yang mereka bawa. Hanafi membuka ketan pisang goreng yang dibawanya, Riki membuka roti, sedangkan Don dan Zia siap menyantap bubur kacang padi mereka.

“Hei, aku ingin jadi dokter kalau sudah besar nanti. Kalau kau Rik?”. Hanafi, membuka pembicaaraan sore itu.

“Kalau aku cukup ingin bantu amak dan bapak ajalah, manggale..”jawab Riki sambil melahap rotinya yang terakhir.

“Kalau kau Antahlah, aku ingin pergi merantau seperti saudara – saudaraku yang lain..” sahut Don.

Tatapan mata Hanafi beralih kepada Zia yang tengah asik menyeruput kuah kacang padinya, “ Kau Zia?”

Zia berhenti dan meletakkan sendoknya. Ia berpikir sejenak,”Kalau aku ingin sekolah tinggi – tinggi..”

“Mana ada sekolah tinggi di sini?” potong Don.

“Ya kan bisa ke kota..” Zia tak mau kalah.

Don tertawa ngakak sampai kacang padi yang tadi sudah kunyahnya menyembur ke luar, “Ke kota? Mana ada anak gadis marantau?”

Zia cemberut, “Yeee, kan cito - cito, kini kan bukan jaman Sitti Nurbaya dan aku kan bukan Sitti Nurbaya, Yo ndak Hans?”

Hanafi balas tersenyum, “Yo. Betul tu. Tapi, bagaimana kalau seandainya Zia mengalami hal seperti itu?”

Muka Zia bukannya tambah licin, tapi jutru tambah lecek mendengar jawaban itu, ”Huuuu.. Hans, bukannyo mambela Zia..” cubitan gadis itu siap mendarat di lengan Hanafi, tapi Hanafi berhasil menghindar, sehingga menambah tekukan muka Zia.

Mereka semua tertawa melihat muka cemberut Zia, sampai akhirnya Don melerai, “ Sudah, sudah,. ok, lengkap kan? Kalau sakit, tinggal panggil Hanafi, Kalau nak merantau, minta tolong Riki, kalau nak baca buku atau beli buku tinggal tinggal minta Zia yang belikan..”

”Kalau nak makan, tinggal pergi ke warung kau Don.. Ha.. Ha.. Ha.. “potong Riki, Hanafi, dan Zia berbarengan, diiringi oleh gelak tawa mereka.

Selang beberapa saat mereka kembali melanjutkan bersepeda menuju arah pulang. Bukit Barisan yang menjulang tinggi dan mentari senja yang mulai turun menjadi saksi percakapan empat sahabat itu sore itu.

………………………

Enam tahun kemudian…

Beberapa orang remaja berseragam putih abu – abu berjalan beriringan. Di tangan mereka tergenggam masing – masing map file berisi SSTB dan ijazah SMU. Yah, mereka adalah empat sahabat sepermainan yang tak lain adalah Hanafi, Zia, Don, dan Riki yang hari ini telah menyelesaikan sekolah mereka di SMU.

“Jadi, mulai hari ini kita jalan masing - masing?” Tanya Han sedih.

“Yah, terpaksa. Kau kan harus kuliah di kota Padang Hans, si Don ikut saudaraku ke Jawa, sedangkan si Zia, Sitti Nurbaya kita ini akan berangkat ke Jakarta..” jawab Riki sambil mengerling Zia.

“Ah, aku kan dah berkali – kali bilang, jangan panggil aku dengan nama itu.. dan lagi pula, Itu kan belum pasti, Don. karena Mamakku sepertinya belum mengizinkan..” wajah Zia berubah murung.

“Tapi ayah kau kan mendukung, Zia..” hibur Hanafi.

“Dan kau sudah diterima di Universitas favorit, masak tidak dikasih izin..” Riki menimpali., “Kalau aku kan udah bilang dari awal, aku bantu urang gaek ajalah, manggale..”

“Jadi kau indak akan kuliah, Rik?” tanya Don.

“Kuliah itu mahal, gaekku kan cuma padagang kecil, cari uang dari mana untuk kuliah? Sampai SMA aja cukuplah, aku udah senang.. Oh ya, udah sampai di simpang rumah kita, Mungkin ini terakhir kali kita pulang sekolah sama - sama..”

Hanafi menjabat tangan Riki erat, “Jangan saling malupokan, yo!”

Merekapun saling berjabat tangan dan melanjutkan langkah mereka ke rumah masing – masing. Riki dan Don berbelok, sedangkan Hans dan Zia berjalan lurus.

Tak banyak percakapan antara Zia dan Hanafi setelah itu. Keduanya tampak menikmati kebersamaan yang sebentar lagi tak akan mereka rasakan lagi seperti saat ini.

“Jaga diri ya Zia di rantau urang. Dan kalau sudah berhasil jangan lupa dengan nagari kita ini.. jangan lupa kirim surat ya, semoga kita tetap bisa berteman, selamanya..." ucap Hanafi memandang Zia. Zia balas memandang, lalu keduanya terus berjalan dan akhirnya berpisah di persimpangan jalan.


...........................

Zia, etek hadijah, dan ayah Zia, engkus natsir duduk berhadapan di sofa ruang tengah. Mereka sedang menonton tivi. Mak Mutar, paman Zia masuk, sepertinya baru kembali dari warung. Ia tampak agak emosi.

"Aku kan sudah bilang dari dulu, aku tidak setuju kalau Zia sekolah ke negeri orang!. Kalau mau sekolah juga, di sini kan masih banyak sekolah yang bagus! Lagi, perempuan kok ingin sekolah tinggi – tinggi?"

Semuanya tampa terperangah.

"Ada apa uda emosi seperti ini? Duduklah dulu, kita bicara baik – baik", Engku natsir berusaha menenangkan abangnya itu.

"Alahhhh,apa yang mau kau bicarakan, semua orang sudah tahu kau akan memberangkatkan anakmu ke Jakarta, untuk apa lagi dibicarakan"

"Bukannya aku tidak mau mendengar kata uda, tapi Zia juga berhak memilih jalan hidupnya, zia sudah berusaha, dan lulus disana..."

"Tapi, saya mamaknya! Seharusnya kau meminta persetujuan dulu dariku!"

Engku Nasir memberi isyarat lewat pandangan matanya kepada Zia dan etek Khadijah agar meninggalkan mereka. Etek khadijah dan Zia keluar ke ruang makan.

Engku natsir menghela napas," Aku kan sudah pernah membicarakan ini sebelumnya."

"Sekolah tu Cuma buang – buang uang, ndak sekolahpun bisa cari uang! Yang namanya perempuan tetap perempuan, sekolah sampai manapun, tetap aja turunnya ke dapur.." wajah mak Mutar tampak semakin memerah menahan amarahnya.

"Turunnya memang ke dapur, tapi ke dapur dengan akal dan otak, berpikir, pintar! Tidak seperti perempuan disini, yang diperlakukan seperti pembantu, harta bisa dicari, tapi ilmu?"

" Lalu biayanya? jangan pernah kau sentuh ya harta warisan keluarga kita..ingat itu!"

"Aku akan akan usahakan, kalau perlu jual apa saja yang atas nama saya, akan aku usahakan dengan cara apapun.."

Mak Mutar melengos, lalu beberapa detik kemudian terdengar suara bantingan pintu. Di ruang dapur dua perempuan menari napas panjang. Lega.


..........................................

Zia dan etek Khadijah duduk di meja makan. Muka keduanya tegang. Engku Nasir masuk dari ruang tengah.

"Zia, persiapkankanlah barang-barang untuk dibawa"

Zia kaget,"Tapi yah, mamak..."

Engku Natsir memandang putrinya dengan tatapan lembut,"Ayah sendiri yang nanti akan mengantarkan dan menitipkan kau di Jakarta nanti. Semakin cepat, semakin baik. Ayah akan pesan tiket bis, lusa kita berangkat. Dija, tolong bantu Zia beres - beres ya!."

Zia mengangguk mengerti,lalu menuju kamarnya.

sementara itu, sepeninggal Zia etek khadijah memandang engku natsir dengan tatapan seperti bertanya-tanya.

"Saya sudah mempertimbang semuanya sebelum memutuskan ini, saya tidak ingin melihat Zia ikut terjebak di sini, Aku ingin Zia menjadi perempuan yang cerdas. Zia harus tahu budaya daerah lain, berwawasan luas, bisa menentukan masa depannya sendiri dan bisa merasakan perasaan syukur karena diciptakan sebagai seorang perempuan. Perempuan yang dihormati, Tidak seperti di desa ini, diberhentikan sekolah dengan alasan tak tak ada biaya, ujung – ujungnya dinikahkan. Hidup berumah tanggapun kurang bahagia, karena diperlakukan seperti babu, disuruh ini - itu.." jelas engku Natsir.

"Saya takut Zia terseret pergaulan anak - anak kota, lihat aja anak - anak gadis yang pulang dari rantau itu! pulang - pulang pakai baju ketat, rok mini, tidak tahu malu, malala ke sana - sini.." Khadijah tampak gusar.

"Insya Allah, Tidak, Ja"

Engku Nasir memandang adiknya itu dengan pandangan meyakinkan dan memohon dukungan. Khadijah mengangguk.

............................................

Zia sedang melipat baju - baju yang akan dibawanya. tiba - tiba terdengar ketukan pintu. Tok! Tok! Tok!

Zia berhenti melipat baju, lalu membukakan pintu. Muncul Etek Khadijah dari daun pintu yang terkuak, ia lalu masuk dan membantu Zia melipat baju.

"Janjilah sama etek, jangan macam - macam di sana nanti dan jangan ikut - ikut anak - anak macam yang tajadi di kampung kita ini.."

Zia sentak menghentikan aktivitas beres-beresnya. Ia lalu duduk disamping eteknya,menggenggam tangan wanita yang sudah cukup tua itu.

"Iya, tek. Percayalah sama Zia"

"Dan jangan sesekali jatuh cinta dengan orang sana.."

Zia terbelalak, lalu tertawa, "Ah, etek.. Zia kan masih tujuh belas tahun, zia belum memikirkan itu.."

"Tapi di nagari kita tujuh belas tahun kan rata - rata sudah punya anak, lihat aja kawan - kawan padusi kau tu, semua sudah gendong anak.."

Zia memandang eteknya dengan kening berkerut.

"Zia, kau kan tahu, kau itu anak padusi satu – satunya di keluarga kita, kaulah penerus keluarga ini.. di nagari kita, perempuanlah yang akan meneruskan keluarga, jadi laki - laki yang menikahinya yang akan tinggal di rumah perempuan.. Sedangkan di negeri orang, perempuan yang akan ikut suaminya, jadi.."

"Jadi kalau Zia menikah dengan orang seberang sana, Zia pasti ikut dia, kan? Iyo, etek tersayang.. Zia janji indak akan macam - macam, mana mungkin Zia meninggalkan etek, Etek kan sudah Zia anggap pengganti bundo.."

Zia memeluk etek Khadijah dengan erat. Suasana haru memenuhi kamar itu seketika. Zia tak kuasa menahan air matanya mengingat sebentar lagi akan berpisah dengan orang yang paling menyayangi dan disayangi olehnya ini. Bundo Khadijah pun demikian.

....................................

Dipeluknya satu persatu orang yang mengantarkan Zia dan ayahnya ke terminal. Etek - etek, uni - uni, etek Khadijah, dan mak Mutar yang menyalaminya dengan muka masam. Zia juga menjabat erat tangan sahabat - sahabatnya. bis pun perlahan meninggalkan terminal padang. Zia melambaikan tangan.Bis semakin menjauh. Selamat tinggal tanah minang, aku akan pergi jauh,tapi aku pasti akan kembali...


bersambung.... ke bagian Part 2..